Politik
PBNU Mengkritik Keterlibatan Militer di Kejaksaan Agung dalam RUU TNI: Tidak Masuk Akal
PBNU menyuarakan penentangan kuat terhadap peran militer dalam pemerintahan sipil, menimbulkan pertanyaan mendesak tentang masa depan prinsip demokrasi dan integritas hukum. Apa artinya ini bagi keadilan?

Saat kita meninjau RUU TNI yang diusulkan, muncul kekhawatiran mengenai implikasinya terhadap tata kelola pemerintahan dan peran personel militer dalam institusi sipil. Prospek anggota militer aktif yang memegang posisi di Kantor Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung menimbulkan pertanyaan kritis tentang kompetensi militer dan integritas hukum yang diperlukan untuk peran berpengaruh tersebut.
Kritik yang disuarakan oleh Ketua PBNU, Mohamad Syafi Alielha, menyoroti kegelisahan yang bertambah di kalangan warga tentang kemungkinan pengikisan nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi 1998. Alielha berargumen bahwa keterlibatan personel militer dalam lembaga hukum mengikis prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Pernyataan ini men resonansi dengan banyak dari kita yang menghargai sistem di mana keahlian hukum dan pengawasan sipil adalah yang utama.
Dengan mengizinkan tokoh militer menduduki posisi yang secara tradisional diperuntukkan bagi profesional hukum yang terlatih, kita mempertaruhkan netralitas dan efektivitas institusi tersebut. Jika personel militer beralih ke peran sipil tanpa melepaskan tugas militer mereka, kita mungkin mempertanyakan kemampuan mereka untuk menjalankan tanggung jawab mereka secara adil dan tanpa bias.
Usulan RUU TNI untuk meningkatkan peran sipil yang tersedia bagi personel militer aktif dari 10 menjadi 16 adalah mengkhawatirkan. Hal ini menunjukkan kecenderungan untuk mengaburkan batasan antara fungsi militer dan sipil, langkah yang dapat memiliki konsekuensi jangka panjang bagi negara hukum di masyarakat kita. Kritikus, termasuk pemimpin masyarakat sipil seperti Yenny Wahid, menekankan bahwa personel militer harus fokus pada pertahanan nasional, bukan tata kelola hukum.
Perspektif ini penting, karena memperkuat gagasan bahwa sistem hukum kita harus tetap dikelola oleh mereka yang memiliki keahlian dan pelatihan yang diperlukan dalam hukum, bukan oleh individu yang kesetiaannya terutama kepada tujuan militer.
Selain itu, diskusi cepat dan tertutup mengenai RUU TNI yang diadakan di Hotel Fairmont di Jakarta, menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Kurangnya transparansi dan keterlibatan publik dalam proses legislatif ini mengkhawatirkan. Hal ini menunjukkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang kita, sebagai masyarakat, pegang teguh.
Sistem tata kelola yang efektif harus mengundang pengawasan dan debat publik, memastikan bahwa suara warga didengar dan dipertimbangkan. Saat kita merenungkan perkembangan ini, kita harus menganjurkan sistem hukum yang menjaga integritas dan kompetensi yang penting untuk keadilan.
-
Politik1 hari ago
THR dan Gaji ke-13 untuk Prabowo, Gibran, Para Menteri, dan Anggota DPR
-
Politik1 hari ago
Koalisi Sipil Serbu Ruang Rapat Komite Kerja RUU TNI di Hotel Jakarta Pusat
-
Sosial1 hari ago
Pemijatan Payudara Viral di Cimahi, Anak Sekolah Dasar Menjadi Sasaran
-
Politik1 hari ago
Polisi Pedofil, Potret Kerusakan Moral Pejabat Penegak Hukum
-
Lingkungan1 hari ago
Tanah Longsor Rusak 30 Rumah di Bandung Barat
-
Ekonomi3 jam ago
Harga Berbagai Komoditas Pangan di Kota Bandung Meningkat, Cabai Rp 100,000 per Kilogram
-
Lingkungan3 jam ago
Enam Distrik di Bandung Barat Terkena Bencana
-
Politik3 jam ago
KPK Mengungkapkan DPRD OKU Menuntut Alokasi Rp 40 M untuk Proyek Agar APBD Disetujui