Sosial
Definisi “Anak Nakal” dan Bangunan di Barak Militer
Temukan implikasi dari memberi label siswa sebagai “nakal” dan pendekatan barak militer yang kontroversial—bisakah ini benar-benar mendorong perubahan positif?

Ketika kita mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh siswa yang diberi label “nakal,” sangat penting untuk memahami implikasi dari kategorisasi tersebut. Istilah ini sering merujuk pada siswa yang terlibat dalam perkelahian, merokok, penyalahgunaan zat, dan berbagai masalah perilaku lainnya. Alih-alih memenuhi kebutuhan pendidikan siswa-siswa ini, kita sering melihat kecenderungan untuk menstigmatisasi mereka. Hal ini tidak hanya memengaruhi harga diri mereka tetapi juga membatasi potensi mereka untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Di Jawa Barat, pendekatan Gubernur Dedi Mulyadi terhadap “anak nakal” melibatkan program pendidikan karakter bergaya militer. Program ini berlangsung antara enam bulan hingga satu tahun, yang memindahkan sekitar 39 siswa ke fasilitas militer di mana mereka menjalani pelatihan militer yang ketat. Meskipun lingkungan yang terstruktur bertujuan untuk menanamkan disiplin dan karakter, hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang kecocokan metode tersebut dalam menangani masalah perilaku.
Kritikus berpendapat bahwa memberi label siswa sebagai “nakal” dapat merugikan, karena mengabaikan alasan yang lebih dalam dan sering kali kompleks di balik tindakan mereka. Dengan fokus pada disiplin tanpa menangani masalah mendasar—seperti trauma, kesehatan mental, atau faktor sosial ekonomi—kita mungkin secara tidak sengaja memperkuat stereotip negatif dan berkontribusi pada perjuangan kesehatan mental. Dampak psikologis dari pemberian label semacam ini bisa sangat mendalam, menyebabkan perasaan tidak mampu dan putus asa di kalangan anak muda ini.
Selain itu, sementara pelatihan militer mungkin menawarkan bentuk intervensi perilaku yang terstruktur, kita harus mempertimbangkan apakah pendekatan ini mendukung pertumbuhan atau justru mengekang kebebasan mereka. Penekanan pada disiplin dan ketaatan dalam konteks militer mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan yang ingin kita promosikan. Alih-alih menumbuhkan kecintaan terhadap belajar, metode ini berisiko menciptakan lingkungan yang terasa hukuman daripada mendukung.
Saat kita merenungkan tantangan ini, kita harus mengadvokasi intervensi yang mengutamakan pemahaman dan empati. Pendekatan yang lebih holistik mungkin meliputi konseling, pendampingan, dan dukungan komunitas, yang bertujuan untuk mengatasi akar penyebab masalah perilaku tersebut.
Kita harus bertanya pada diri sendiri: bisakah kita menciptakan lingkungan pendidikan yang mempromosikan kebebasan, pertumbuhan, dan pengertian, daripada penahanan dan hukuman?
Pada intinya, meskipun niat di balik pelatihan bergaya militer untuk “anak nakal” mungkin untuk menanamkan disiplin, kita harus secara kritis menilai apakah hal tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan siswa-siswa ini. Dengan memusatkan perhatian pada intervensi perilaku yang berakar pada empati dan pengertian, kita dapat membantu mereka menghadapi tantangan mereka dengan lebih efektif, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
-
Nasional1 hari ago
Suara Warga di Perbatasan Bandung Terkait Ide Perluasan Cimahi
-
Bisnis1 hari ago
Dua Supermarket Raksasa Tutup di Indonesia, Salah Satunya Karena Tindakan Preman
-
Ragam Budaya1 hari ago
Potret Masjid dan Bangunan yang Dihancurkan oleh Roket India
-
Politik1 hari ago
Jaksa Akan Memanggil Kusnadi dan Nurhasan untuk Bersaksi dalam Persidangan Hasto
-
Ekonomi1 hari ago
Harga Emas Anjlok Secara Dramatis, Pasar Kecewa dengan Sikap Hati-hati The Fed
-
Politik3 jam ago
Warisan Paus Leo XIV, Pemimpin Katolik Pertama dari Sebagai
-
Politik3 jam ago
Adik ipar menyerahkan ijazah Jokowi ke Bareskrim Polri, berharap segera selesai
-
Ekonomi3 jam ago
Hati-hati! Harga Emas Mulai Menimbulkan Kekhawatiran