Politik
PDIP Marah karena Regulasi Poligami Ditandatangani Tepat Sebelum Pelantikan Pram-Rano
Menyusul penandatanganan regulasi poligami oleh Gubernur Teguh, PDIP marah besar—apa dampaknya bagi hak perempuan dan reformasi di Indonesia?
Kita menyaksikan pergolakan politik yang signifikan setelah Gubernur Teguh Setyabudi menandatangani regulasi poligami tepat sebelum pelantikan Pramono-Rano. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menyatakan ketidakpuasan yang kuat, berargumen bahwa kebijakan tersebut mengalihkan perhatian dari reformasi birokrasi yang penting di Jakarta. Para kritikus menekankan dampak negatif regulasi terhadap kesetaraan gender dan ambisi reformasi yang lebih luas. Dengan memperbolehkan pegawai negeri pria untuk berpoligami di bawah kondisi tertentu, langkah ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang prioritas tata kelola. Saat administrasi Pramono-Rano menghadapi reaksi keras, implikasi untuk hak-hak perempuan dan struktur keluarga di Indonesia memerlukan pemeriksaan yang lebih mendalam.
Latar Belakang Peraturan
Saat kita menggali latar belakang peraturan, penting untuk memahami konteks di mana Pergub Nomor 2 Tahun 2025 diberlakukan.
Ditandatangani oleh Gubernur Pelaksana Teguh Setyabudi tepat sebelum pelantikan Pramono-Rano Karno, peraturan ini menawarkan gambaran rinci tentang izin pernikahan dan perceraian khusus untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di DKI Jakarta.
Peraturan ini memungkinkan ASN pria untuk melakukan poligami di bawah kondisi tertentu, seperti mendapatkan persetujuan dari istri pertama dan mendapatkan persetujuan dari otoritas terkait.
Regulasi ini membenarkan kondisi poligami tersebut dengan mengutip situasi seperti ketidakmampuan istri pertama dalam memenuhi tugas-tugas perkawinan karena disabilitas, penyakit kronis, atau ketidaksuburan.
Pada akhirnya, ini bertujuan untuk memformalkan pelaporan pernikahan dan perceraian di antara ASN, memastikan transparansi dalam perubahan status pernikahan.
Reaksi Politik dan Kritik
Meskipun regulasi poligami baru bertujuan untuk mengatasi masalah spesifik di dalam pelayanan sipil, ini telah memicu kritik keras dari lingkaran politik, terutama dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Rieke Diah Pitaloka dan pejabat PDIP lainnya menganggap regulasi ini tidak perlu, berargumen bahwa hal itu mengalihkan perhatian dari reformasi birokrasi yang esensial di Jakarta. Mereka mendesak administrasi Pramono-Rano yang baru terpilih untuk mempertimbangkan kembali atau mencabut kebijakan ini, menekankan bahwa pemerintahan harus mengutamakan masalah mendesak yang mempengaruhi pegawai negeri.
Potensi regulasi untuk melegitimasi pilihan pribadi menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kesetaraan gender dan agenda reformasi secara keseluruhan. Seiring dengan intensifikasi reaksi publik dan media, sikap PDIP mencerminkan diskursus yang lebih luas tentang keseimbangan antara kebebasan pribadi dan prioritas tata kelola di Indonesia.
Implikasi untuk Tata Kelola Masa Depan
Kritik terhadap regulasi poligami baru menandai momen penting bagi administrasi Pramono-Rano saat mereka memulai pemerintahannya.
Kontroversi ini tidak hanya membahayakan kredibilitas administrasi tetapi juga menyoroti tuntutan mendesak akan transparansi dalam pemerintahan.
Saat kita menghadapi tantangan ini, sangat penting untuk memastikan keselarasan kebijakan dengan tujuan reformasi birokrasi yang lebih luas.
Waktu penerapan regulasi menimbulkan kekhawatiran bahwa hal ini dapat mengalihkan perhatian dari inisiatif reformasi yang esensial.
Jika kita gagal menangani kritik publik dan kekhawatiran mengenai kesetaraan gender, kita berisiko menggoyahkan komitmen kita terhadap hak-hak perempuan dalam strategi pemerintahan ke depan.
Ke depan, kita harus mengutamakan akuntabilitas dan responsivitas dalam proses pengambilan keputusan untuk membangun kepercayaan publik dan menangani masalah pemerintahan yang mendesak secara efektif.