Politik
Mahfud tentang Tidak Ada Penegakan Hukum di Penghalang Pantai: Mencurigakan
Coastal barriers yang tidak ditegakkan menimbulkan kecurigaan mendalam; apa yang sebenarnya terjadi di balik kolusi antara bisnis dan pejabat?
Komentar Mahfud tentang kurangnya penegakan hukum mengenai penghalang pantai menimbulkan kecurigaan yang signifikan tentang akuntabilitas. Kita melihat bagaimana sertifikat HGB ilegal menggoyahkan regulasi pesisir, yang membahayakan ribuan nelayan. Pengabaian terhadap hak-hak lokal menunjukkan kemungkinan kolusi antara bisnis dan pejabat. Sangat penting bahwa kita mendorong tata kelola yang etis dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Memahami dinamika ini penting, karena hal tersebut mengungkap isu-isu yang lebih dalam yang mempengaruhi baik masyarakat maupun lingkungan di wilayah tersebut.
Dalam pernyataan terbaru, Mahfud MD menyoroti kurangnya tindakan dari penegak hukum mengenai penerbitan ilegal sertifikat HGB untuk pembatas pantai di perairan Tangerang. Kasus ini sangat mengkhawatirkan karena langsung berdampak pada sekitar 3.888 nelayan dan 502 pekerja budidaya perairan dari 16 desa di enam distrik. Peraturan pesisir yang dimaksudkan untuk melindungi komunitas ini tampaknya diganggu oleh sertifikasi ilegal ini, menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan tata kelola.
Keberadaan sertifikat HGB, yang dikonfirmasi oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, semakin memperumit masalah. PT Intan Agung Makmur memiliki 234 sertifikat, sementara PT Cahaya Inti Sentosa memiliki 20. Situasi ini menunjukkan bahwa entitas sedang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya pesisir, berpotensi merugikan mata pencaharian lokal.
Ketika kita menggali lebih dalam, kita harus mengakui bahwa laut, yang secara inheren merupakan sumber daya komunal, tidak dapat secara sah disertifikasi untuk kepemilikan pribadi. Pernyataan Mahfud bahwa keengganan birokrasi dapat menyebabkan penutupan kegiatan ilegal ini sangat mengkhawatirkan, menyoroti kebutuhan kritis akan transparansi dan tata kelola yang etis.
Dampak dari kasus ini meluas jauh melampaui pemangku kepentingan langsung. Jika penegak hukum terus mengabaikan, ini mungkin menandakan adanya kolusi potensial antara bisnis dan pejabat, mungkin melibatkan suap. Korupsi semacam ini tidak hanya mengompromikan integritas peraturan pesisir kita, tetapi juga mengikis kepercayaan publik pada institusi yang dirancang untuk melindungi hak dan mata pencaharian populasi yang rentan.
Kita harus bertanya pada diri sendiri: bagaimana kita dapat menumbuhkan rasa kebebasan dan keadilan ketika mekanisme penegakan hukum tampaknya terkompromi?
Lebih lanjut, ketidakaktifan yang kita saksikan ini menimbulkan ancaman signifikan terhadap keberlanjutan lingkungan. Pembatas pantai bukan hanya konstruksi; mereka memainkan peran vital dalam melindungi ekosistem laut dan mendukung perikanan lokal. Jika otoritas negara gagal menjaga peraturan pesisir, kita berisiko merusak lingkungan yang menopang komunitas kita.
Sebagai warga negara yang peduli, kita harus mendukung akuntabilitas. Kita harus menuntut agar lembaga penegak hukum mengambil tindakan segera dan tegas untuk menyelidiki penerbitan ilegal sertifikat HGB ini. Tanpa tindakan seperti itu, kita menyerahkan hak kita untuk hidup dalam masyarakat di mana hukum melindungi kebaikan bersama daripada melayani kepentingan pribadi.
Menanggapi komentar Mahfud, saatnya bagi kita untuk bersatu memanggil keadilan dan pelestarian komunitas pesisir kita. Hanya dengan demikian kita dapat berharap untuk mengamankan masa depan yang menghormati kebebasan, keadilan, dan integritas lingkungan.