Ekonomi
Penyebab Utama Kebangkrutan Industri Tekstil di Indonesia
Faktor-faktor penting seperti impor murah, perubahan regulasi, dan meningkatnya biaya mengancam industri tekstil Indonesia, membuat banyak orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi di masa depan.

Saat kita menggali keruntuhan industri tekstil di Indonesia, menjadi jelas bahwa beberapa faktor telah memicu krisis ini. Masalah paling mendesak adalah masuknya tekstil impor murah yang signifikan, terutama dari China. Lonjakan ini telah mengganggu pasar lokal kita, menciptakan lingkungan di mana produsen lokal hampir tidak bisa bersaing.
Dengan bangkrutnya perusahaan besar seperti Sritex dan penutupan 30 pabrik hanya dalam satu tahun terakhir, dampaknya mencolok: sekitar 250.000 pekerja menghadapi pemutusan hubungan kerja, dan pada September 2024, kita telah melihat kehilangan pekerjaan yang mencengangkan sebanyak 15.114.
Salah satu elemen kritis yang berkontribusi terhadap keadaan saat ini adalah pelonggaran regulasi impor di bawah Permendag No. 8/2024. Perubahan kebijakan ini telah mengizinkan volume produk asing yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk membanjiri pasar kita, menyebabkan saturasi pasar yang parah. Produsen lokal tidak mampu menandingi harga jual produk impor tersebut, seringkali di bawah biaya produksi.
Skenario ini tidak hanya memberi tekanan besar pada industri domestik kita, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan jangka panjang sektor tekstil kita.
Peningkatan biaya produksi lebih lanjut memperumit situasi. Kenaikan harga energi dan kenaikan upah minimum telah meremas margin keuntungan bagi produsen lokal, membuatnya semakin sulit untuk bertahan hidup.
Meskipun kita memahami kebutuhan akan upah yang adil dan biaya energi, keseimbangan antara mendukung pekerja dan mempertahankan harga yang kompetitif harus dikelola dengan hati-hati. Tanpa keseimbangan ini, kita berisiko kehilangan industri tekstil kita sepenuhnya.
Selain itu, penurunan permintaan ekspor telah memperburuk tantangan ini. Pada tahun 2023, kita menyaksikan penurunan ekspor tekstil ke AS sebesar 24% dan penurunan 11-24% ke pasar Eropa.
Kontraksi ini tidak hanya mengurangi pendapatan bagi bisnis lokal tetapi juga mengurangi visibilitas industri kita di panggung global. Saat kita mempertimbangkan gravitasi statistik ini, jelas bahwa kombinasi regulasi impor yang dilonggarkan, saturasi pasar, peningkatan biaya produksi, dan permintaan ekspor yang menurun menciptakan badai sempurna bagi sektor tekstil kita.