Connect with us

Nasional

Alasan Kholid Mengatakan Tembok Laut 30 KM Bukan Usaha Komunitas, Mantan Kepala Penyidikan Kriminal Polisi Indonesia: Yang Berbicara Adalah Botol

Sebuah proyek tembok laut di Tangerang dipertanyakan oleh Kholid dan Susno, siapa sebenarnya yang akan membiayainya? Temukan jawabannya di sini.

coastal wall controversy explained

Kholid berpendapat bahwa proyek tanggul laut sepanjang 30 KM di Tangerang tidak dapat dianggap sebagai upaya komunitas karena tidak realistis untuk mengharapkan nelayan lokal untuk membiayainya. Ia menekankan bahwa biaya konstruksi mencapai miliaran rupiah, jauh melampaui penghasilan harian mereka yang hanya beberapa ratus ribu rupiah. Mantan Kepala Kepolisian Indonesia, Susno Duadji, menambahkan keraguan ini dengan mempertanyakan kredibilitas klaim pendanaan dan menyarankan penyelidikan yang lebih mendalam. Keduanya menekankan tantangan ekonomi yang dihadapi oleh komunitas nelayan dan kesalahan representasi kemampuan keuangan mereka. Memahami dinamika ini membuka masalah yang lebih luas yang mempengaruhi inisiatif pembangunan berkelanjutan di area tersebut.

Klaim Tentang Pendanaan Dinding Laut

Sementara beberapa klaim menyebutkan bahwa nelayan lokal membiayai pembangunan tembok laut sepanjang 30 KM di Tangerang, Kholid dengan tegas membantah gagasan tersebut, dengan berargumen bahwa biaya perkiraan yang sangat besar dari proyek tersebut membuat pembiayaan mandiri seperti itu tidak realistis.

Dia menekankan bahwa pendapatan harian para nelayan terlalu rendah untuk mendukung inisiatif skala besar seperti tembok laut ini. Frustrasi Kholid terpusat pada salah penggambaran kemampuan finansial nelayan lokal, menekankan perjuangan ekonomi mereka.

Mantan Kepala Polisi Komjen Purn Susno Duadji mendukung skeptisisme Kholid, mengungkapkan keraguan tentang kredibilitas klaim mengenai pembiayaan tembok laut oleh nelayan lokal. Ucapannya, khususnya frasa "yang berbicara adalah botol," menggambarkan ketidakpercayaan mengenai kontribusi yang diduga dari nelayan terhadap proyek monumental ini.

Perspektif Kholid tentang Pendanaan Sendiri

Kholid dengan tegas percaya bahwa gagasan nelayan lokal membiayai sendiri pembangunan tembok laut sepanjang 30 KM di Tangerang bukan hanya tidak realistis tetapi juga mencerminkan kesalahpahaman tentang realitas ekonomi mereka.

Dia berargumen bahwa biaya konstruksi mencapai miliaran rupiah, jauh melampaui pendapatan harian para nelayan lokal. Alasan Kholid menyoroti skala luas proyek tersebut, yang membentang dari Karang Serang hingga Kronjo, yang melebihi kemampuan keuangan komunitas nelayan.

Komentarnya menantang kredibilitas mereka yang mempromosikan narasi pembiayaan mandiri, menekankan perjuangan finansial yang dihadapi oleh nelayan. Dengan mengatasi kesalahpahaman ini, Kholid menekankan pentingnya representasi yang akurat tentang realitas finansial nelayan dan implikasinya bagi keterlibatan komunitas dalam proyek pengembangan pesisir.

Pandangan dari Mantan Kepala Polisi

Seberapa kredibel klaim bahwa nelayan lokal membiayai tembok laut sepanjang 30 KM?

Mantan Kepala Polisi Komjen Purn Susno Duadji mengungkapkan skeptisisme terhadap klaim tersebut, yang sejalan dengan pandangan Kholid.

Ia mempertanyakan kemungkinan nelayan lokal, yang seringkali memiliki penghasilan yang tidak seberapa, untuk berkontribusi pada proyek yang begitu luas.

Susno menekankan perlunya penyelidikan mendetail terhadap sumber dana sebenarnya untuk pembangunan pagar laut tersebut.

Ucapannya, "yang berbicara adalah botol," menegaskan ketidakpercayaannya terhadap klaim tentang kontribusi finansial dari para nelayan.

Skeptisisme ini menyoroti kekhawatiran yang lebih luas tentang realitas ekonomi yang dihadapi oleh komunitas nelayan dan representasi mereka dalam diskusi pengembangan pesisir, menunjukkan bahwa pemeriksaan yang lebih transparan terhadap sumber-sumber pendanaan sangatlah penting.

Tantangan Ekonomi bagi Nelayan

Meskipun peran vital mereka dalam ekonomi lokal, nelayan di Tangerang menghadapi hambatan ekonomi yang signifikan yang menghambat kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam proyek skala besar seperti pembangunan tembok laut sepanjang 30 KM.

Pendapatan harian mereka, seringkali hanya beberapa ratus ribu rupiah, menunjukkan kesenjangan pendapatan yang tajam yang membuat pembiayaan mandiri tidak realistis.

Dengan biaya tembok laut diperkirakan mencapai miliaran, banyak nelayan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi berkontribusi pada inisiatif semacam itu.

Selain itu, pembangunan ini mengancam mata pencaharian mereka dengan membatasi akses ke wilayah penangkapan ikan tradisional, memperburuk kekhawatiran tentang keamanan pangan.

Ketidakpuasan meningkat akibat salah pengertian tentang kemampuan finansial mereka, memicu tuntutan akan transparansi sumber pendanaan.

Mengatasi tantangan ekonomi ini sangat penting untuk melindungi mata pencaharian mereka serta integritas proyek komunitas.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Trending

Copyright © 2025 The Speed News Indonesia